19/02/09

Sebuah Cerpen Untukku

Cerpen ini ditulis oleh seorang cewek bernama Tia yang berkenalan denganku di yahoo messengger..^^
saya ingin mengucapkan terima kasih kepadanya...
baru sekali mendapat pengalaman yang seperti ini..^^
klo mo baca cerpennya, saya sudah posting nee..^^

“Iya, pa….iya….iya…..iya…..gak ada….wa’alaikumsalam”, itulah serangkaian kata yang sering ku ucapkan jika papa menelepon. Aku tidak nafsu untuk menerima telepon dari siapapun hari ini. Apakah itu penting atau tidak sama sekali, aku tak peduli. Yang ku pedulikan hanya laptop kecil ku yang selalu menjadi tempatku berbagi, tempatku menuangkan segala masalahku. Untuk hari ini laptop kesayanganku bisa libur dari sentuhan jari-jemariku. Aku merindukannya, kapankah ia bisa kembali ke kamarku, kembali berada di atas meja kayu jati pendek yang selalu berserakan dengan kertas-kertas berisi not-not balok dan akord gitar.
Hari minggu yang cerah, selalu memberiku senyuman yang kecut setiap pagi. Tak ada yang berbeda dari hari-hari minggu sebelumnya. Tak ada yang berbeda karena aku harus meneriakkan kata yang sama setiap minggu pagi. “Kak Andre….Banguuuuuuunnnnn!!!!” kataku sambil menggedor pintu kamarnya. Tak lama kemudian, muncul seraut wajah usang yang bahkan aku hampir bosan melihatnya. “Hhhuuuaaaaah….”mulutnya terbuka lebar seperti kuda nil,”Kenapa sih, dy. Minggu lho,dy…minggu…” . “Hah,terserahlah. Yang penting aku sudah membangunkankan kuda nil yang satu ini”, batinku. “Roti tinggal 2, pilih turun atau ku makan?”tanyaku pada saudara kandungku satu-satunya di dunia ini. Aku yakin dengan raut wajahnya yang tidak nafsu makan dan matanya yang masih sayu, dia lebih memilih tidur lagi.

“Cckk…ya udah makan aja!” lalu ditutupnya kembali pintunya yang dihiasi dengan tulisan
‘Andre’s room, Do not enter’.

Rumah ini begitu besar, tapi aku selalu merasa kesepian. Terkadang aku merasakan rumah ini ramai. Mungkin karena kedatangan para malaikat atau malah kedatangan para setan. Makan sendiri di meja makan selebar 2 meter bukanlah hal yang menarik. Ku lahap 2 potong roti selai cokelat dengan cepat, lalu segera kembali ke kamar. Ku baringkan tubuh ke tempat tidur sambil memikirkan apa yang akan dilakukan hari ini. Ku hidupkan televisi, terlalu banyak film kartun. Tiba-tiba hp ku berdering.

“Halo…” kataku membuka percakapan.” Ada apa Tom?”

“Dy, sekarang kami minta kepastianmu.”

“Ya udah. Kita ngomong di tempat biasa aja. Jam 11.00” Klik. Kumatikan hp dan segera bangkit dari tempat tidur.

Menunggu waktu berputar bagiku sangat mudah. Bermain gitar adalah cara terbaik menghabiskan waktu. Jam menunjukkan pukul 10.12. Segera aku beranjak, menggambil kunci mobil yang digantung di dekat pintu.

“Mang, aku mau pergi nih.” Teriakku kepada seorang lelaki berusia 30an yang sedang memotong rumput halaman. Dengan tergopoh-gopoh ia berlari. Dia sudah mengetahui apa yang harus dilakukannya. Seperti biasa, mobil ini sudah bersih dan siap untuk dikendarai. Pintu gerbang sudah terbuka lebar. Jalanan yang agak sedikit basah karena guyuran hujan tadi malam telah siap menyambut roda-roda ban mobilku. Sebelum keluar, ku sempatkan untuk mengucapkan terima kasih kepada mang Salim, tukang kebun sekaligus suami dari mbok Sumi.
Jalan-jalan Jakarta yang penuh sesak dengan segala jenis kendaraan memang sudah tidak asing lagi bagiku. Inilah makanan mataku setiap hari. Dengan melewati jalan sudirman dan bundaran HI, akhirnya aku tiba di Starbucks Coffee jam 11 kurang 5. Macet, memang itu yang terjadi. Dari luar bisa kulihat mereka sudah sampai. Tidak semuanya, hanya 2 orang.
“Dy, pesan apa?” kata Tommy sok basa-basi. Aku langsung duduk tanpa menjawab pertanyaannya. “Udah lama?” tanyaku mengalihkan pertanyaan Tommy.
“Enggak juga.” Jawab Tommy,”Jadi, keputusanmu apa?”
“Dari awal aku kan udah bilang untuk bantu kalian aja bukan untuk serius,”
“Tapi sekarang kami minta kamu serius, kalo enggak ya udah, keluar aja.” sela Dewa.
“Sekarang kamu pilih Remedial atau Crazzy Patties?!!!” tanya Tommy dengan nada yang meninggi.
“Eh, gak usah marah dong. Gue udah mutusin buat keluar kok. Puas?!” sindirku. Terbersit di hatiku sebuah pertanyaan “untuk apa aku marah?”
“Sorry gue balik dulu.” Tanpa basa-basi segera aku kembali ke mobil. Bisa diperkirakan hanya sekitar 3 menit aku menjejakkan kaki di Starbucks. Rekor terbaru bagiku.“Balik? Untuk apa pulang secepat ini? Duduk di rumah hantu itu? Paling cuma mendengar ocehan si Andre, kuda nil usil itu.” batinku.

*****


Destinasi persinggahanku yang kedua untuk hari ini adalah Gajah Mada Plaza. Rencanaku hari ini akan kuhabiskan disini.Ku harap hari ini menjadi hari minggu yang sedikit lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Pergi ke toko buku lalu nonton dan makan. Bila toko buku ini sebuah pesawat, mungkin pesawat ini sudah jatuh. Sebagian bahkan lebih dari pengunjung yang ada sekarang lebih banyak berada di sisi utara toko. Yah, ku pikir memang itulah tempat favorit anak-anak maupun remaja. Bagian komik.
Setelah dari toko buku dengan membeli 2 buku, aku segera naik ke lantai 4. Nonton adalah kegiatan kedua di plaza ini. Ketika ku lewati food court dan kaunter –kaunter makanan, aku melihat seseorang yang sudah tidak asing lagi bagiku. Bahkan ia yang selama ini berada di singgsana hatiku. Tapi apa yang tertangkap oleh mataku bukanlah sesuatu hal yang menarik. Dia bersama seseorang yang wajahnya pun sudah tidak asing bagiku. Pikiranku buyar seketika. Nyaris menabrak seseorang. Aku tetap berjalan lurus walaupun pada akhirnya tangga turunlah yang menjadi pilihan. Tangga turun hingga lantai paling bawah, tempat parkiran. Aku ingin kembali ke rumah hantu saja.

*****


Akhirnya matahari yang kelelahan pun kembali beristirahat. Bulan dan bintang bersedia untuk menggantikan tugasnya menyinari kota Jakarta. Entah apa hikmah dibalik semua kejadian hari ini. Mungkin aku memang dituntut untuk menjadi orang yang lebih sabar dan berlapang dada. Hari, aku sangat benci untuk mengatakan kata “hari”. “Hari” bagiku merupakan sebuah kata yang selalu berkata “aku adalah mimpi burukmu”. Kapan hariku berakhir? Aku sangat berharap ketika hari itu tiba, itu adalah hari terindah dari semua hari.
Besok adalah hari pertama kembali sekolah setelah libur 2 minggu di bulan Juli. Tapi ada yang aneh dari kembalinya aku sekolah. Kebanyakan orang akan membeli buku pelajaran yang satu tingkat dari buku yang dimilikinya dulu. Tapi untuk tahun ini aku berbeda. Aku tidak membeli buku satu tingkat dari bukuku yang dulu. Buku itu akan ku pakai satu tahun lagi.
Hp ku tiba-tiba berdering. “Ckk…papa lagi…”.
“Halo, pa” sebisa mungkin aku mengeluarkan suara yang terdengar gembira.
“Dy, nanti tolong print tiketnya, ya. Udah papa kirim ke e-mail kamu”
“Hah? Tiket? Memang mau kemana, pa?” tanya ku bingung.
“Iya, tiket kesini.” Jawaban Papa semakin membuatku bingung.
“Memang siapa yang kesana?”
“Kamu. Jadwalnya besok, penerbangan pertama sekitar jam 9.”
“Aldy,pa? Ga mau. Aldy gak mau.”
“Itu terserah kamu. Pokoknya besok papa udah jemput di KLIA sekitar jam 11.00.”
Lalu tak berapa lama kemudian, papa mematikan teleponnya. “Aarrrggghh….apa sih maunya papa? Egois. Kenapa tiba-tiba aku disuruh kesana? Kan besok udah mulai sekolah.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Mungkin papa lupa aku sudah masuk sekolah. Berpikir positif adalah hal yang paling baik.

Ku buka internet dari laptop kecil yang sudah berada di mejaku tadi sore. Mereka sudah memperbaiki laptopku seperti sedia kala, karena 2 hari yang lalu laptopku tidak mau “on”. Ku buka alamat e-mail ku. Ada surat dari papa yang menyisipkan 1 tiket ke Malaysia. Itu artinya hanya aku. Satu hal lagi yang melengkapi rasa kesal ku pada papa. Dia menuliskan pesan yang berisikan,”Jangan lupa bawa seragam sekolahmu dan buku-bukumu yang masih bagus. Raport dan ijazah. Keterangan kepindahan mu sudah papa urus. Keterangan kepindahanmu dari sekolah yang lama juga sudah diurus. Ambil uang di bank sekitar Rp2.000.000, tukarkan ke ringgit. Jangan lupa juga passportnya.”


*****

Semuanya sudah beres. Mudah-mudahan tidak ada yang tertinggal. Papa memang aneh. Yah, tapi mau bagaimana lagi. Semua fasilitas ini dia yang belikan. Mungkin tidak masuk akal kalau segala keperluan ku harus ku persiapkan dalam satu malam. Tapi untunglah kak Andre masih punya hati untuk membantuku.
Akhirnya tiba juga di bandara Soekarno-Hatta. Hari ini aku harus berpisah dengan teman-teman, teman-teman se-band, kak Andre dan seorang cewek manis yang ,mungkin, sekarang sudah ku usir dari hatiku. Untuk pertama kalinya aku harus berangkat sendiri dari bandara. Walaupun begitu aku tidak merasa takut sedikit pun. Setidaknya sampai detik ini.

*****


Inilah KLIA, Kuala Lumpur International Airport. Mungkin untuk pemula sepertiku, butuh waktu sekitar 1,5 jam untuk bisa keluar dari bandara ini. Hampir sama waktu yang ku habiskan ketika terbang dari Jakarta-Kuala Lumpur. Karena salah membaca peta petunjuk, aku harus naik Aero train 2 kali. Padahal jika aku teliti seharusnya aku bisa keluar lebih cepat.
Papa sudah menungguku di depan. Ia melambai-lambaikan tangannya ke arah ku. Kami ke tempat pemarkiran mobil. Sedetik kemudian, mobil melesat cepat. Selama di perjalanan aku hanya mendengarkan musik dari iPod. Baru saja aku melewati plakat yang bertuliskan “ Sepang Circuit”. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut papa semenjak aku sampai tadi. Tidak di tanyanya bagaimana kabarku, bagaimana rasanya aku harus berpetualang sendiri untuk mencari jalan keluar. Padahal ia yang menyuruhku kesini.

*****


SIK, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur adalah sekolahku yang berikutnya untuk 3 tahun kedepan. Sekolah ini cukup jauh dari rumahku yang di Kajang . SIK terletak di jalan Lorong Tun Ismail no.1, Kuala Lumpur. Kurikulum yang digunakan sama dengan kurikulum di Indonesia. SIK mempunyai ruang kelas ber-AC, setiap ruang kelas memiliki TV, DVD Player, LCD Projector Suasananya pun tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah di Indonesia. Tapi jika keluar dari pintu gerbang sekolah ini, suasana akan jauh berbeda.
Sudah sekitar 2 minggu akau belajar di sini. Menyenangkan memang tapi bagaimana pun aku tetap rindu dengan teman-teman di Jakarta. Untuk urusan pergi ke sekolah papa dengan senang hati mengantarkan ku, tapi itu hanya berlaku di hari pertama. Di hari pertama itu aku segera mencari informasi dari teman-teman bagaimana caranya untuk sampai kesini. Ada seseorang yang dengan senang hati menerangkan kendaraan-kendaraan umum yang ada. Di mulai dari bas Rapid, komuter sampai Monorail. Mudah saja sebenarnya, hanya saja aku butuh penyesuaian. Bahkan aku 2 kali terlambat karena kelewatan tempat berhenti.
*****
“Benarkah apa yang kulihat?” hatiku bertanya-tanya selama di perjalanan pulang. “Gak, gak mungkin. Mungkin hanya salah lihat. Mana mungkin. Tenanglah Aldy.”batinku untuk menenangkan diriku agar pikiranku tetap terkonsentrasi untuk mendengarkan nama stasiun selanjutnya. Untungnya aku masih bisa tetap fokus karena berada dalam posisi berdiri yang membuat kakiku ingin cepat-cepat melangkah keluar komuter.
Jam menunjukkan pukul 3 siang. Dari stasiun Kajang aku naik taksi untuk ke rumah karena perhentian bas Rapid di depan stasiun sudah tidak aktif lagi. Tak hanya aku yang berhenti disini. Banyak anak SIK ataupun Sekolah Kebangsaan yang bertempat tinggl di Kajang.
Bayang-bayang itu masih saja menghantui pikiranku. Seandainya itu memang orang yang ku cari-cari selama ini kanapa dia begitu tidak peduli ketika melihatku tadi. “Ayolah, Aldy pasti bukan. Bukan. Tadi itu adalah orang lain. Buktinya dia bersama orang lain,”aku mencoba membuat tenang diriku sendiri.
*****
“Pa, ada yang mau Aldy tanyakan dengan papa.” Aku mencoba untuk tetap tenang dan tidak memaksa papa untuk buka mulut. Papa sama sekali tidak menggubris perkataanku. Untuk menghadapi papa memang butuh kesabaran setebal tembok Cina. Dia mengambil secangkir minuman dari meja kerjanya lalu meneguk isinya. “Pa, tadi Aldy ketemu Mama.” Bicara dengan Papa tidak usah pakai basa-basi. Langsung saja ke inti permasalahannya. Kata-kataku membuat Papa tersedak seakan-akan dia terkejut dengan apa yang ku katakan.

“Pa,sebenarnya ada yang papa sembunyikan dari Aldy sama kak Andre ‘kan?” tanyaku.

“Hmm…Kamu yakin? Memang dimana kamu lihat?”

“Di KL Sentral. Tolong, Pa. Aldy bukan anak kecil lagi.”

“Papa sama Mama udah pisah semenjak setengah tahun yang lalu.”

Dugaanku selama ini tepat karena selama setengah tahun lebih wajah seorang ibu yang melahirkanku sudah tidak pernah lagi kulihat. Dia bahkan tidak pernah menelepon kami. Itu yang memperkuat dugaanku kalau Mama memang tidak di Surabaya selama ini. Mereka berdua telah berhasil menipu ku. “Kenapa Papa harus bohong? Kenapa Papa menyembunyikannnya dari Aldy?”

“Karena memang kamu gak perlu tau.”

“Aldy perlu tau!.” Kataku menaikkan nada bicaraku. “Aldy bodoh, kenapa tidak bisa menjaga
emosi mu.” Aku memarahi diriku sendiri. “Maaf, Pa.” sesalku lalu berbalik dari kamar papa dan menuju dapur. Selera makanku sudah hilang. Lalu aku kembali ke kamar.
Melihat keluar jendela kamar membuat hatiku sedikit tenang. Ada sehamparan tanah seperti hutan diseberang sana, rel komuter dan jalan raya. Apabila aku melihat ke bawah hanya terlihat mobil-mobil penghuni apartemen yang lain. Pemandangan dari lantai 4 ini bisa membuatku cukup terhibur. Suara-suara komuter yang lewat setiap 10 menit seperti musik di telingaku. Dalam 2 kali sehari akan ada suara yang berbeda yaitu kereta api sungguhan dengan rute Kuala Lumpur-Singapura.

*****

Selama 2 bulan lebih hubunganku dengan Papa kurang berjalan dengan baik. Bayangkan, betapa bosannya aku hidup di rumah ini kalau terus seperti ini. Setiap hari aku minta maaf kepada Papa tentang insiden aku membentaknya. Tapi ia hanya diam. Ingin rasanya aku marah dan meluapkan semua yang ada di hatiku. Tapi apa gunanya. Hanya akan memperkeruh suasana.
Setiap minggunya aku bertemu dengan Mama di stasiun yang sama. Aku yakin itu Mama. Setiap kali aku mencoba untuk memanggilnya selalu saja kehilangan jejaknya. Tapi hari ini aku akan berusaha untuk bisa menemukannya. Setelah sampai di KL Sentral, aku tidak langsung naik ke komuter tapi ku tunggu hingga aku melihat Mama. Tidak satupun dari orangtuaku yang berkebangsaan Malaysia. Mereka orang Indonesia asli. Papa ditugaskan untuk beberapa tahun disini tapi aku tidak tahu apa yang dilakukan Mama di negri jiran.

“Itu dia Mama,” hatiku mendapatkan secercah harapan. Tapi ketika aku mulai mendekatinya, ia malah berbalik dan pergi keluar stasiun. Segera aku berlari mengejarnya. KL Sentral terlalu padat jika sudah mulai sore jadi aku susah untuk mengejarnya. Berkali-kali aku mengucapkan kata ‘maaf’ kepada orang yang ku tabrak. Aku semakin susah untuk menemukan Mama, lagi pula sekarang aku berada di jalan yang jarang ku lalui.

Aku berhenti sebentar untuk mengambil nafas. Tas sandang yang berat ini menyusahkanku saja, membuat lariku menjadi lebih lambat. Lalu aku berlari kembali menuju jalan penyebrangan di depan, namun lampu untuk pejalan kaki sudah merah. Banyak bus yang berlalu lalang disini sehingga menghalangi pandanganku. “Mama. Itu mama, tapi dia ada diseberang sana. Jangan. Jangan naik.” Sebelum Mama naik ke bus itu, refleks kakiku melangkah ke jalan raya. Bukan hanya melangkah tapi berlari. “Aldy, jangan!!!.” Hati kecilku seakan-akan berteriak ke telingaku sekuat mungkin. Namun terlambat, aku merasakan besi besar menabrakku. Aku juga masih bisa merasakan tubuhku terpental jauh. Badanku terasa sakit sekali. Ada sesuatu yang cair dan dingin mengalir di keningku. Entah kekuatan darimana, aku bisa berdiri dan berjalan selangkah. “Mamaaa!!!” itulah tenaga terakhirku sebelum akhirnya aku ambruk.

*****


Begitu banyak suara dengungan di telingku. Aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi. Bahkan aku sendiri tidak ingat siapa diriku. Aku juga tidak dapat membuka mataku. Semua suara dengungan itu membuatku takut. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengelak. Perlahan-lahan suara dengungan itu berubah menjadi suara manusia. Tetapi aku masih belum bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Aku benar-benar sama sekali tidak punya kekuatan untuk mengangkat kedua kelopak mataku. Kini aku bisa menangkap suara-suara itu. Tetapi aku tidak tahu siapa yang berbicara. Mereka mengatakan,”Aldy…Aldy…”Aku tidak tahu siapa Aldy. Tapi dalam sekejap aku bisa mengingat semuanya. Itu suara temanku, Haikal. Suara-suara yang lainnya juga semakin jelas. Aku bisa mengenal suara yang satunya, suara Papa dan kak Andre.

Pasti aku sudah berjam-jam seperti ini terus. Sampai saat ini aku masih tidak bisa menggerakkan salah satu anggota tubuhku. Keadaan ini semakin diperparah oleh detak jantungku yang mulai tidak stabil sehingga berpengaruh pada kecepatan bernafasku. Aku mendengar mereka semakin histeris memanggil namaku. Mereka semakin panik. Benarkah hari ini akan menjadi hari terakhirku? Sayangnya permohonanku belum terkabul. Aku sangat ingin hari ini menjadi hari terindah dari semua hari-hari burukku. “Ya Tuhan, ku mohon kabulkanlah.”

Nafasku semakin tercekat. Aku semakin sulit bernafas. Aku mendengar suara baru. Suara dari seseorang yang sangat ingin aku dengar selama ini. Mama. Aku sangat yakin itu suara mama. “Ya Tuhan, perbolehkanlah aku untuk memeluk ibuku sebelum Engkau memisahkan aku darinya.” Tiba-tiba, entah kekuatan darimana aku bisa membuka mataku. Menggerakkan seluruh badanku seperti orang normal. Secepat mungkin aku duduk dan Mama memelukku erat. Aku menangis dan menangis karena aku yakin akan berpisah darinya. “Ma, Aldy sayang sama mama, Aldy juga sayang sama Papa, kak Andre dan juga Haikal. Terimakasih kalian sudah mau menjadi bagian dari hidupku.” Aku tersenyum kepada mereka semua. Mereka pun ikut memelukku. “Apapun yang terjadi jangan pernah lupakan Aldy,ya.” Airmata terus mengalir di pipiku. “Aldy jangan bicara seperti itu,”kata Mama. Sekarang nafasku kembali tidak normal. Bahkan lebih parah dari yang tadi. Tuhan terimakasih telah mengabulkan doa ku. Sedetik kemudian aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di ruangan itu. Yang aku tahu bahwa aku sudah tidak lagi di dunia ini.

hehehe...
gimana cerpennya??
bagus bgt kan..^^
terima kasih..^^


2 komentar:

  1. >>ciiwaYzie<< / tia20 Februari 2009 pukul 01.54

    wkwkwkwk...
    dy,,jadi juga u posting cerpen q...

    BalasHapus